Racun itu Manis, Karena Dicampur dengan Cinta
Malam merangkak lambat di atas Lembah Seribu Kabut. Bulan sabit menggantung seperti sabit perak yang siap menuai jiwa. Udara dingin menggigit, menusuk tulang hingga ke sumsum. Di tengah keheningan yang mencekam, sebuah pagoda kayu berdiri tegak, siluetnya tajam melawan langit yang kelam. Di dalamnya, dupa terbakar, asapnya menari-nari mengiringi air mata yang membasahi pipi Li Wei.
Di hadapannya, berdiri Zhang Fei, pria yang dicintainya, pria yang dibencinya. Wajahnya, yang dulu selalu menghadirkan senyum hangat, kini dingin dan keras seperti batu giok beku.
"Katakan padaku, Wei," suara Zhang Fei serak, bagai desis ular di tengah badai. "Katakan padaku kebenarannya. Apakah kau terlibat dalam kematian ayahku?"
Li Wei menggeleng lemah. Di tengah cahaya redup lilin, matanya yang bulat memancarkan kepedihan. "Tidak, Zhang Fei. Aku bersumpah. Aku tidak tahu apa-apa tentang kematian ayahmu."
"BOHONG!" Zhang Fei menggebrak meja kayu di depannya. Meja itu retak. "Bukti ada di mana-mana! Surat-surat rahasia, pertemuan terlarang… Semuanya mengarah padamu!"
Bayangan masa lalu berputar-putar di benak Li Wei. Pertemuan rahasia dengan pamannya, janji setia yang diucapkannya di bawah pohon sakura yang kini telah tumbang, tatapan curiga dari Zhang Fei yang dulu begitu penuh cinta. Cinta… dan kebencian. Dua sisi mata uang yang sama, terjalin erat dalam hidup mereka.
"Aku melakukannya… aku melakukan semua itu untuk melindungimu!" Li Wei berteriak, suaranya tercekat. "Paman ingin membunuhmu, Zhang Fei! Dia ingin merebut kekuasaan darimu! Aku terpaksa bersekutu dengannya untuk melindungimu dari belakang!"
Zhang Fei terdiam. Cahaya lilin menari-nari di wajahnya, mempermainkan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Keraguan berkelebat di matanya yang gelap.
"Bukti apa yang kau punya?" tanyanya, suaranya kini lebih lembut, namun tetap menyimpan ancaman tersembunyi.
Li Wei meraih sebuah kotak kayu kecil dari balik jubahnya. Di dalamnya, terdapat selembar kain sutra, di mana terukir rencana pembunuhan yang ditandatangani oleh paman Zhang Fei.
"Ini," Li Wei menyodorkan kain sutra itu. "Ini adalah bukti yang kumiliki. Aku menyimpannya selama ini, demi dirimu."
Zhang Fei mengambil kain sutra itu, membacanya dengan seksama. Matanya menyipit. Kemarahan yang membara perlahan mereda, digantikan oleh penyesalan yang dalam.
"Maafkan aku, Wei," bisik Zhang Fei, suaranya bergetar. "Aku telah dibutakan oleh amarah dan balas dendam."
Ia mendekat, meraih tangan Li Wei. Namun, Li Wei menarik tangannya.
"Terlambat, Zhang Fei," ucap Li Wei, suaranya dingin dan datar. "Kau telah meracuni hatiku dengan kebencian. Racun itu telah merasuk terlalu dalam. Cinta kita… telah mati."
Di tengah keheningan yang memilukan, Li Wei mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik jubahnya. Ia membukanya, dan aroma pahit memenuhi udara.
"Racun ini…" kata Li Wei, menatap Zhang Fei dengan tatapan kosong. "…adalah hadiah terakhirku untukmu. Racun yang manis, karena dicampur dengan cinta."
Li Wei meneguk cairan itu. Zhang Fei terpaku, tak mampu berbuat apa-apa.
"Wei! JANGAN!" teriaknya, terlambat.
Li Wei tersenyum tipis, darah merembes dari sudut bibirnya. Ia roboh ke lantai, di atas salju yang mulai menyusup masuk melalui celah-celah pagoda. Zhang Fei berlutut di sampingnya, memeluk tubuhnya yang dingin.
Janji setia di atas abu masa lalu, kini hanya menyisakan penyesalan abadi.
Beberapa hari kemudian, di puncak tertinggi Lembah Seribu Kabut, Zhang Fei berdiri tegak, memandang matahari terbit. Di tangannya, tergenggam sebuah cawan berisi arak. Ia meneguknya, lalu menjatuhkan cawan itu ke jurang.
"Balas dendamku… telah selesai," bisiknya, sebelum terjun bebas ke dalam jurang yang dalam.
Dan di tengah angin yang berdesir, terdengar bisikan: "Siapa yang akan membalas dendam pada kematian cinta?"
You Might Also Like: Agen Kosmetik Bisnis Tanpa Modal Di
Post a Comment