Cerpen Keren: Saat Aku Tersenyum, Ia Tak Tahu Itu Pamit

Saat Aku Tersenyum, Ia Tak Tahu Itu Pamit

Hujan kota membasahi jendela apartemenku, sama derasnya dengan air mata yang enggan jatuh. Di layar ponsel, sisa obrolan kita menggulir tanpa henti. Setiap "Aku kangen kamu" darinya, kini terasa seperti tusukan jarum. Dulu, notifikasi darinya adalah simfoni kebahagiaan. Sekarang, hanya deru sepi.

Kopi hitam di hadapanku kehilangan aroma, sama seperti cintaku yang menguap entah ke mana. Aku ingat, dulu ia selalu memesankan Latte Art berbentuk hati, simbol absurd yang sempat kutertawakan. Sekarang, aku merindukan absurditas itu.

Pertemuan kita dimulai di grup komunitas art journaling. Sentuhan-sentuhan digital itu, emoji hati yang diselipkan di antara coretan tinta, foto-foto senja yang diedit dengan filter yang sama. Kita membangun dunia fantasi di antara mimpi dan realita.

Tapi, realita selalu punya cara kejam untuk merobek fantasi.

Ia, dengan segala pesonanya yang memabukkan, ternyata menyimpan rahasia. Sebuah rahasia yang kurasakan samar, seperti aroma parfum asing yang menempel di jaketnya, atau tatap mata yang menghindar saat kumenyebut nama dia.

Aku mencoba mencari tahu, tapi ia selalu menghindar, bersembunyi di balik alasan klise: "Aku sibuk", "Aku lelah", "Kamu terlalu berlebihan". Kalimat-kalimat itu memuntahkan racun keraguan ke dalam hatiku.

Hingga suatu malam, saat aku tak sengaja membuka laptopnya, semua terungkap. Foto-foto. Surat-surat cinta. Dan sebuah pengakuan yang menghancurkan seluruh keyakinanku. Ia mencintai orang lain. Bahkan, ia sudah bertunangan.

Dunia terasa runtuh. Bukan dengan ledakan keras, tapi dengan keheningan yang memekakkan telinga. Aku menutup laptopnya, meninggalkan jejak sidik jari di layarnya sebagai saksi bisu pengkhianatan ini.

Keesokan harinya, ia datang dengan senyum yang (dulu) membuatku jatuh cinta. "Aku punya kejutan untukmu," katanya, sambil menyodorkan buket bunga lili putih.

Aku menerimanya, memaksakan sebuah senyuman palsu. Senyum yang menyimpan seluruh amarah, luka, dan kekecewaan. Senyum perpisahan.

"Aku juga punya kejutan," jawabku, sambil mengeluarkan ponsel. Kubuka aplikasi notes, dan menunjukkannya sebuah pesan yang sudah kutulis sejak semalam.

Aku tahu segalanya. Dan aku pergi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku meletakkan bunga lili di atas meja, mengambil tasku, dan melangkah keluar dari apartemen. Meninggalkannya terdiam dengan ekspresi tak percaya.

Di lift, aku mengirimkan satu pesan terakhir:

Terima kasih atas pelajarannya. Dan selamat menikmati hidupmu.

Aku memblokir nomornya, menghapus semua fotonya, dan menghancurkan seluruh jejak digital keberadaannya dalam hidupku. Aku memulai lembaran baru, tanpa dia.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar ia gagal menikah. Ia mencariku, mengirimiku pesan berkali-kali, memohon untuk kembali.

Tapi, aku sudah berubah. Aku bukan lagi gadis yang dulu dibutakan cinta. Aku adalah awan kelabu yang memilih untuk tidak meneteskan hujan di padang gersang yang dulu ia ciptakan.

Balas dendamku sederhana: ketidakpedulian. Aku tidak membalas pesannya. Aku tidak mengangkat teleponnya. Aku hanya tersenyum saat membayangkan betapa ia menyesal telah menyia-nyiakan diriku.

Suatu hari, aku menerima sebuah voicemail panjang darinya. Ia menangis, menyesal, dan memohon ampun. Di akhir voicemail itu, ia berkata:

"Aku merindukan senyummu…"

Aku mendengarkan voicemail itu sampai selesai, lalu menghapusnya.

Aku menghela napas panjang, memandang langit kota yang mulai membiru. Di bibirku, terukir sebuah senyuman tipis. Bukan senyum bahagia, bukan pula senyum sedih. Hanya senyum… kekosongan.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang kutahu, aku tidak akan pernah menoleh ke belakang lagi. Karena, di sanalah letak kehancuran.

Dan aku… sudah selesai dengan kehancuran itu.

Kekosongan itu terasa begitu… nyaman.

You Might Also Like: 19 Unveiling 90909 Zip Code

Post a Comment